Minggu, 11 Desember 2011

Arti UN bagi kami

"Jika tidak ada UN bagaimana kita melakukan evaluasi. Ketika ada daerah yang pendidikannya buruk dan kita tidak tahu, maka itu akan menuai protes, dan kita disalahkan karena tidak berbuat sesuatu," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Khairil Anwar Notodiputro, Minggu (11/12/2011) malam, seusai membuka kampanye nasional "Peran Penelitian dan Pengembangan dalam Pembangunan Karakter Bangsa", di Hotel Horison, Bandung, Jawa Barat.
Bagaimanapun juga proyek pembangunan karakter akan jalan di tempat apabila pola pendidikan dan pengajaran yang dilaksanakan hanya menggunakan UN sebagai tolak ukur (melakukan penilaian) bahwa suatu pendidikan di suatu daerah buruk. Ada beberapa alasan mengapa itu menjadi sesuatu yang tidak tepat menurut saya:
1.       1. Sungguh tidak adil menggunakan alat ukur yang sama untuk menilai sebuah lembaga pendidikan dalam menjalankan fungsinya, di mana pada saat yang sama pemerintah belum mampu memberikan sarana dan prasarana pendidikan yang merata di seluruh daerah.

2.       2. Jika hanya untuk menentukan buruk atau tidaknya pendidikan di suatu daerah ataupun lembaga, tentunya banyak sekali instrument yang dapat digunakan selain UN, proses pengawasan dan pengawalan tentunya lebih diutamakan, sebagaimana yang kita ketahui inti dari pendidikan adalah proses bukan hasil.

3.       3. Secara mental psikologis, dengan meletakkan hasil UN sebagai satu-satunya yang menentukan kelulusan siswa membawa mereka kedalam pola pikir “belajar untuk ujian, bukan ujian untuk belajar” padahal yang diharapkan dari proses KMB di sekolah adalah membentuk tradisi belajar para siswa atas semua materi yang diterimanya, adapun peringkat, nilai ujian, dan kelulusan bukanlah hal yang utama dalam proses belajar.

4.       4. Akibat yang lebih fatal adalah merusak mental para guru yang merasa bahwa anak didiknya tidak akan mampu melalui UN tersebut dan pada akhirnya mereka memberikan contoh dan pengalaman yang buruk bagi para siswanya. Dengan sengaja mereka memberikan jawaban ataupun bantuan dengan berbagai macam bentuknya ketika UN berlangsung, bahkan menganjurkan para siswa yang dianggap pintar untuk memberikan bantuan kepada teman-temannya dan kasus seperti ini tidak sedikit terjadi.

Pada masa usia “golden age” tingkatan SMP dan SMA inilah sebenarnya karakter dan pola pikir mereka dibentuk, maka apapun alasannya menjadi tidak tepat untuk tetap dijalankan jika itu akan mengorbankan “merusak” karekter dan pola pikir mereka.

Apa artinya sekolah bila mereka memberikan kemampuan siswanya hanya pada ranah afektif saja, tanpa membentuk karakter dan pola pikir seorang pejuang yang mempunyai jiwa, nilai, dan falsafah hidup yang tinggi.

Apalah artinya guru bila mereka tidak mampu mentransfer nilai-nilai luhur dari proses pendidikan untuk membentuk manusia yang jujur, mandiri dan pekerja keras. 

Kenapa tidak kita serahkan sahaja pendidikan anak-anak kita kepada bimbel-bimbel yang ada bila hanya UN yang dijadikan satu-satunya penentu kelulusan siswa di sekolah-sekolah.

0 komentar:

Posting Komentar